0

Itukah Cinta? part 1

Ketika musik cintamu mulai beralun, apakah kau akan ikut menari bersamanya?

Ilustrasi by : @Annisa_nozo
Butiran air turun dari singgasananya, kadang langsung menuju tanah, terkadang ada juga yang mampir dulu ke daun. Begitu terus-menerus. Bukan sekali ini aku melihat tetesan air itu turun tapi, entah mengapa alunan rintik hujan seolah menghipnotisku, dan jujur saja aku suka hujan. Suaranya, bau tanah setelah hujan, bahkan pelanginya. Aku suka hujan. Kalau saja aku tidak ingat umurku sudah 18 tahun, mungkin sekarang aku akan berhamburan keluar rumah. Menari dengan rintik hujan diluar rumah, ditemani kuncup-kuncup mawarku yang hampir mekar.    
            “Indah” desisku sambil menyeruput sedikit demi sedikit coklat panas.
            “Ara, bukannya hari ini kamu ada mata kuliah?” teriakan Alice, kakak tertuaku, sukses membuatku bangkit, dan mengecek jadwal mata kuliahku.
            “Oh Tuhan, bagaimana aku bisa lupa, terimakasih” ucapku sambil mengecup pipi Liz. Kudengar Liz menggerutu lantaran aku cium. Dia sering bilang kalau aku harus punya pacar. Supaya tidak sering untuk menciumnya. Tapi, meskipun menggerutu toh, bisa kulihat lama-lama dia juga mulai berhenti protes (mungkin saat ini belum) dan (aku yakin) akan terbiasa dengan ciumanku yang maut. Hihihi..
# # #
            Kurapatkan jaket coklatku, angin masih saja bisa menyusup masuk. Brr..dingin, walaupun Surabaya termasuk kota dan katanya panas-nya naudzubilleh, tapi yakin kalau hujan, dinginnya juga sama-sama dahsyatnya.
            Kukeluarkan sepeda putihku, jarak kampus dengan rumah memang dekat. Selain untuk mengurangi gas pembobol atmosfer, juga menabung untuk modal membuka toko bunga. Hahaha aku memang suka bahkan tergila-gila dengan makhluk tuhan satu ini.
  Sudah jam 2, kukayuh sepedaku. Jas hujan ini memperlambat laju sepeda, rasanya ingin saja kucopot, dan bersenang-senang dengan butiran air yang jatuh, pasti menyegarkan. Lagipula, bukan pilihan yang tepat terlambat dalam mata kuliah Pak Wira, karena akan kupastikan dia akan mengeluarkan hawa dinginnya, menghisap kebahagiaan di rona wajahmu seperti dementor. Kadang aku berandai hidup di dunia sihir lalu kusihir dia dengan patronusku dan cling! Dunia damai, Pak Wira hilang dari peradaban.
           Sesampainya di kampus, kepalaku melongok ke kelas, kusapu pandanganku ke seluruh kelas. Yap! tepat waktu, Pak Wira belum datang.
            Kuperhatikan dengan seksama setiap ucapan Pak Wira, kucatat setiap hal yang penting. Mau nggak mau, kehidupan perkuliahanku berada di tangan master ini. 
 “sssst…Ara” ada desahan nafas yang terdengar seperti namaku, aku menoleh tapi tak kudapati siapa-siapa disana. Bulu kudukku mulai berdiri. Tenang jangan takut dulu, seingatku kisahku ini bukan tentang hantu, atau makhluk antah berantah.
“Ara…”  lagi-lagi suara itu muncul.
Pluk!” bagus, bukan hanya desahan nafas yang terdengar seperti namaku yang aku dapatkan. Tapi juga bola kertas. Setidaknya, membuatku yakin bukan hantu yang akan kuhadapi. Kuambil bongkahan bola kertas itu, kubuka perlahan.
lihat arah jam 3 begitu aku menoleh, di sanalah ciptaan Tuhan yang ter-rese melemparkan senyum kepadaku. Dia Nagihiko, setahun lebih tua, matanya sipit yang mengernyit ketika berpikir membuatnya semakin tampan, dan satu hal lagi. Dia adalah sahabatku sejak kecil.
            Dia berpindah tempat tepat di sampingku.
            “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku, sambil terus mencatat apa yang di katakan oleh Pak Wira.
            “Aku bosan” jawabnya malas bersandar di kursi dan meletakkan kakinya di atas meja. Aku hanya melihatnya, dan melengos.
            “Hei ada apa?” ternyata dia cukup peka juga, sehingga cukup mengerti arti tatapan mataku.
            “Kembalilah ke kelasmu, jadilah pengacara yang baik” ucapku sambil terus mencatat setiap kalimat Pak Wira. Terkadang bisa kulihat tetes-tetes ludahnya muncrat kemana-mana. Oh ya, for your information, Nagi adalah mahasiswa hukum, sedangkan aku pendidikan.
            Tiba-tiba saja Nagi menggenggam tanganku,
   “Apa yang kau pikirkan?” Nagi menatapku dengan mata yang menurutnya menggoda, dan itu tidak mempan untukku.
            “Umh..aku hanya berpikir bagaimana aku bisa menulis” jawabku datar, aku merasa mata-mata tajam menusuk ke punggungku, Lisa menatap kami dengan tatapan seakan membunuh. Oh god..aku harap dia segera sadar arah panahnya salah sasaran. Mungkin yang lain mengira, nggak terkecuali Lisa bahwa Nagi menyukaiku. Tapi, bagiku ya beginilah Nagi cowok slengekan, yang baik hati, dia adalah tipe orang yang sebisa mungkin baik kepada semua orang termasuk aku, sahabatnya yang yatim.  
            “Baiklah, aku meminjam tangan ini, dan aku akan mengingat semua yang dikatakan dementor itu, setuju?” aku terdiam menatapnya, toh kularangpun dia bakal tetap kekeh sama kemauannya, tapi apa dia gak sadar perlakuannya yang flamboyan ini bisa membunuhku?
# # #

0 komentar:

Posting Komentar

AnnisaFauzia. Diberdayakan oleh Blogger.
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
Back to Top